Sabtu, 09 Maret 2013

Tugas Pengembangan Profesional - Keluargaku


Nama saya Aditya Wardhani. Saya besar dan lahir di keluarga penuh disiplin dan demokratis. Keluarga Hariadi. Terlahir sebagai anak tunggal dari Ayah Wachid Hariadi, seorang TNI-AU, tegas, tanggung jawab, penyayang, penuh perhatian, idealis, demokratis dan over protektif. Sarjana dan Magister Ekonomi Cumloude ini senang berbagi dengan anak satu-satunya. Kebahagiaan tersendiri katanya. Sebagai seorang militer, otomatis disiplin merupakan background utama keluarga kami. “Jangan sampai orang lain menanti!”, itulah hal yang ditanamkan ayah saya sejak kecil. Dari kecil sudah diperkenalkan dengan rekan-rekan dikantornya. Dilatih untuk berkomunikasi. Mulai dari yang bawah hingga komandannya sekalipun. Mandi harus 10 menit, dan kalau lebih pasti udah di gedor pintunya. Janjian misalkan jam 7 pagi, ya jam 06.45 paling lambat harus udah siap. Kalau enggak ya pasti ditinggal. Selain itu, aku juga diajarin teliti dalam hal travelling. Kalau ada barang yang tertinggal, ya sudah. Katanya “Salah siapa gag teliti!”. Mati kutu deh. Maklum lha, kalau ayah keluar kota aku sering ikut. Dulu sering banget bolos sekolah. Jogja dan Bali adalah kota yang sering kami sekeluarga kunjungi. Makassar, Jakarta, Medan, Batam, bahkan Papua. Ya terbang...pakai pesawat militer itu. Hehehehe.... pernah waktu dulu masih SD, aku bolos gara-gara gag makan pagi. Hehehehe... ya sudah...lumayan main di rumah...


                Ayah lahir dari keluarga yang kurang mampu di Blitar. Kakek dulu pernah kerja sebagai abdi Bung Karno. Dan Nenek kerja jadi guru SD. Anak pertama dari 4 bersaudara merupakan beban bagi ayah. Dimana harus jadi contoh buat adik-adiknya. Dan ayah banyak gag cerita tentang masa lalunya. Beliau hanya bercerita jauhnya rumah dan sekolah SMP dan SMA waktu itu, tapi tetep rangking satu.

                Lain halnya dengan ibu. Wiwik Larasati. Lahir dari keluarga kaya. Lulusan SMA terbaik dan unggulan di Malang Raya. Tapi sih pinternya gag ngalahin ayah. Ayah itu menang cerdas. Kalau ibu menang tekun. Seorang guru Matematika SMP yang terkenal tegas dan disiplin. Disiplinnya sebelas dua belas dengan ayah. Penyanyang, perhatian, tanggung jawab, jiwa pendidik, idealis, demokratis dan sama-sama over protektif. Hampir sama kayak ibu. Ya jelas, ketemunya juga sama-sama mantan SENAT. Aktivis dulunya. Disiplin dalam hal makan. Terjadwal rapi. Kalau enggak mau makan, dipaksa dan disuapin. Lulusan Sarjana Matematika, membuat aku terbebani untuk pinter matematika. Ya padahal juga ibu juga gag mendoktrin untuk itu. Hampir semua yang dilakukan sama kayak ayah. Jadi gag banyak aku jelaskan di ibu. Memang jodoh mereka.

                Dalam hal mendidik anak, mereka sehati. Mulai dari mempersiapkan gizi dari kecil hingga sekarang sampai pada urusan bercanda. Mencoba lebih dekat dengan anaknya meski sesibuk apapun mereka. Meski tak jarang aku merasa sepi. Sendiri. Dikelilingi oleh fasilitas yang tersedia buat menemani. Mulai dari mainan yang se almari, ada mobil-mobilan. Dari yang remote, tamiya, sampai yang digerakin manual pakai tangan. Jarang boneka. Boneka itupun kalau dikado. Kalau murni ayah yang beli sepulang kerja, ya itu mobil-mobilan. Agak besar dikit dibelikan bola basket. Disuruh main basket. Selain itu di rumah juga ada keyboard sama gitar. Sehingga aku juga aktif di kegiatan band dan punya band sendiri di Malang. Lumayan lha sering manggung kalau ada acara sekolah. Terlahir dari darah demokratis, setiap habis sholat maghrib selalu ada acara sharing. Disitu sharing apapun itu. Jadi aku bisa tahu masalah ayah, ibu, begitu juga sebaliknya. Hingga kami mempunyai panggilan akrab tersendiri. Dan jujur, dalam keseharian aku lebih sering menggunakan panggilan akrab itu. Jadi gag ada panggil ayah, ibu. Kedekatan selalu dijalin semaksimal mungkin oleh orang tuaku. Mulai dari hang out. Sampai sering keluar kota travelling keluarga. Menonton tv pun gag boleh sembarangan. Tv on hanya waktu berita aja. Gag lebih. Disitu sambil liat berita, ayah ma ibu gag tinggal diam. Aku diajak berdiskusi dengan berita yang lagi dibahas. Ya...melatih kritis sih. Hingga waktu itu aku inget banget, aku mengkritisi pemerintah setempat mengenai kesehatan. Dan ayah dengan pedenya “tulis aja, cantumkan namamu yang jelas. Kalau kamu kena kasus masalah itu, ayah siap nanggung”. Seneng banget akunya. Waktu itu masih SMP sih. Dan itu, masuk koran beneran. Hehehehe... tapi untungnya gag kena kasus.

                Terlahir dari keluarga organisasi, membuat aku sedikit dipaksa ikut organisasi awalnya. Pikirku gag penting sih dulu. Buat apa. Mending belajar yang rajin. Tapi malah dimarahin sama dua-duanya. Entah maksudnya apa. Ikut Paski di sekolah, ngapain coba buang-buang waktu. Dan aku baru sadar setelah aku kuliah. Dan asal diketahui, dulu aku ikut BEM kalau ayah ma ibu gag nyuruh, aku gag bakalan daftar. Dan juga kalau ayah ma ibu gag ngerestuin aku jadi menteri, aku juga gag bakaln jadi menteri. Males, capek. Tapi baru ngerasain setelah demisioner ini sih. Hehehehe...

                Besar di keluarga yang selalu melatih aku berkomunikasi, sehingga pernah aku mendapatkan juara Mengarang tingkat Jawa Timur. Dan gara-gara itu juga, aku jadi suka menulis essay. Pernah dulu dicantumkan di Jawa Pos. Sampai aku di Undang dateng di Graha Pena Surabaya. Ketemu Bapak Dahlan Iskan. Salut dengan orang tuaku, dari aku lomba hingga apapun itu kegiatanku, beliau rela cuti dan mengantar sendiri. Bagi mereka “mumpung bisa nganterin, kenapa enggak?!?”.

                Hingga pada akhirnya orang tua harus melepaskan aku kuliah di Bandung. Ada beberapa pertimbangan kenapa harus Bandung. Biar Jauh dan mencari pengalaman hidup. Itu dulu tujuanku. Karena selama hidup dengan orang tua, aku hampir tak pernah menghadapi masalah hidup. Semua ada. Semuanya diiyakan. Hingga aku merasakan, apa yang aku dapatkan tanpa adanya kerja keras sedikitpun. Susah banget ijinnya. Tapi aku berhasil meyakinkan beliau, kalau aku bisa. Aku pingin mandiri. Aku pingin belajar mengatur waktu sendiri, mengatur uang sendiri, dan lain-lain. Dan akhirnya mereka setuju. Tapi ya gitu, sebulan sekali gantian yang cuti jenguk ke Bandung. Awalnya. Tapi sekarang, jadi dua bulan sekali. Ya terserah mereka. Kalau dilarang takut tersinggung.

                Terlahir sebagai anak tunggal merupakan anugerah bagiku. Aku bisa merasakan hal-hal yang indah dengan orang tua diluar temen-temenku. Orang tuaku jelas-jelas menunjukkan sayangnya. Gag jaim. Yang bikin kangen itu, dicium dahi, pipi kanan, pipi kiri dan hidung sama ayah dan ibu sebelum pergi sekolah dan main. Yang sekarang selama kuliah, jarang aku rasakan kecuali waktu mereka berkunjung atau waktu aku berlibur di Malang.

                Ya Allah, lindungi orang tuaku. Sayangi mereka seperti mereka menyayangiku waktu kecil. Aamiin. Love you as always, Wachid Hariadi and Wiwik Larasati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar