Kamis, 09 Januari 2014

Kompleksitas Negeriku, Kompleksitas Mahasiswa

Siang ini, tertanggal 9 Januari 2014...akhirnya blogging lagi...fiiuuhh...baru pulang dari kampus  disodori artkel dari Kaskus mengenai acara TV yang selama ini kurang bermutu...seperti yang disebutkan dalam sumber http://www.kaskus.co.id/thread/52c66f7f0e8b46e8660000ca (Renungan Buat Semua Penonton TV di Indonesia: "Lets Move It!" by @Pandji) disana dijelaskan bahwa, pihak televisi juga tidak mau disalahkan...mereka hanya mengikuti animo masyarakat...


Terlepas dari artikel, pihak televisi memang demikian...mengapa, sebab mereka adalahpenyedia jasa media...klo gag ditonton? Rugi donk pastinya...“maunya acara apa sih?” dan yang kita lihat sekarang, well...komedian yang gag jelas n gag ada nilainya plus sinetron-sineton yang isinya jatuh cinta, dendam, iri, dan bagaimana cara menghancurkan seseorang... itulah wajah-wajah di negeri Surga ini...tak dapat dipungkiri...

Dalam artikel tersebut, ada yang mengatakan... “masyarakat belum cerdas untuk memilih program televisi”... ya emang, itulah kenyataannya...gimana mau intelektual maju, lha wong buat makan aja susah...mereka (masyarakat menengah ke bawah) masih belum bisa mikir sekolah apalagi kuliah...lha buat makan sehari-hari aja susah banget...trus pasti timbul pertanyaan lain, “kenapa mereka bisa beli barang-barang mewah?” jawabannya adalah, “hanya barang-barang itu yang bisa dilihat nyata...buat hiburan” gag percaya? Silahkan tanyakan saja...

Lha terus, kenapa kok kita-kita buktinya bisa nonton acara yang berkualitas? Jawabnya simple “ya karena kita sudah merasakan bangku pendidikan...sehingga kita paham, mana yang baik mana yang tidak” hayooo, iya apa iya???

Trus mau menanggapi ini niihhh...


Demo...entah kupingku rasanya panas banget klo ada orang yang menyalahkan demo...aku juga pernah demo...lumayan sering...panas..capek...dan aku paling gag suka orang yang semena-mena menyalahkan orang demo...ya emang postingan diatas tidak ada kata-kata menyalahkan pendemo...tapi ini juga yang sering terjadi...banyak orang memandang sebelah aktivitas demo... apakah kalian menyalahkan pendemo sudah melihat dari berbagai sudut pandang? Kalau aku yaa, demo itu gag ngawur...ada isu...kajian isu dengan mengundang berbagai narasumber...kemudian advokasi...biasanya dalam advokasi kita beri tenggang waktu...sampai batas tenggang waktu, tak ada respon...kita advokasi kembali...tak ada respon?!? Mau nunggu sampai berapa lama? Ya barulah kita demo... masalah anarkis? Ada berbagai faktor juga lhoo... bisa jadi karena tak ada tanggapan dan kita dipicu...(hayooo, yang pernah demo dulu kuliah..iya apa gag ini?) tapi masih mending kami yang demo itu nyata tindakannya, daripada yang hanya cuap-cuap memprovokasi dan menyalahkan...kalaupun demo kita ada hasilnya, menguntungkan banyak pihak bukan???

Indonesia itu sudah kompleks masalahnya...ibarat kata sudah terlanjur bobrok...kalaupun dibetulkan itu harus satu-satu...yuk kita generasi muda, yang ngakunya kuliah... yang katanya intelektual...yang katanya punya 5 fungsi...ayo dari sekarang pikirkan bagaimana bangun perekonomian Indonesia yang maju dan mapan...mulai dari yang kecil...biar masyarakat yang tidak mampu terangkat kualitas hidupnya...sehingga muncul kesadaran klo edukasi itu penting...tentunya perekonomian murni anak bangsa...tanpa campur tangan kapitalis...perekonomian atas asas kekeluargaan...dan gotong royong...sesuai UUD Pasal 33 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Dan tentunya peran serta pemerintah yang gag mata duitan...hahahha...

Sebagai tambahan...kenapa kok ke Pasal 33???
Seperti opini yang disusun oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono yang merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.  Penulis adalah anggota MPR dari FUG, Pimpinan Gerakan Reformasi Nasional (GRN) dan Ketua Umum SOKSI-Reformasi. Dalam opininya dijelaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 Perlu Dipertahankan
Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya …”. Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood  di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.

Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat “… Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek …”. Ini kiranya jelas, self-explanatory.

Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila Pasal 33 UUD 1945 dianggap mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan ayat-ayat tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.

Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).

Memang tidak akan mudah bagi mereka untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki platform nasional, tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka (sebagian ekonom junior) kiranya tidak suka mencoba memahami makna “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (ayat 1 Pasal 33). “Kebersamaan” adalah suatu “mutuality” dan “asas kekeluargaan” adalah “brotherhood”  (bukan kinship) atau “broederschap”, bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial. Pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan” terkesan untuk sekedar menunjukkan kepongahan akademis belaka. “Asas kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia untuk nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.

Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai “saudara”, “sederek”, “sedulur”, “sawargi”, “kisanak”, “sanak”, “sameton” dan seterusnya, sebagaimana Al Islam menanggap sesama ummat (bahkan manusia) sebagai “saudara”, dalam konteks rahmatan lil alamin. 

Jadi asas kekeluargaan  yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan (bukan family system atau kinship) yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa sistem hukum kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku secara temporer, yang berkedudukan sebagai “sementara sebelum diadakan yang baru menurut UUD 1945”, artinya dalam posisi “peralihan”. Jadi yang tidak tahu, lalu ingin menghapuskan ketiga ayat Pasal 33 UUD 1945 itu adalah mereka yang mungkin sekali ingin merubah cita-cita dasar Indonesia Merdeka.

Mengulang yang disinggung di atas, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, di mana “partisipasi” dalam kehidupan ekonomi harus pula disertai dengan “emansipasi”. Kebersamaan menjadi dasar bagi partisipasi dan asas kekeluargaan menjadi dasar bagi emansipasi. Tidak akan ada partisipasi genuine tanpa adanya emansipasi.

Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun dan keterpurukan ekonomi saat ini, suatu keterpurukan terberat dalam sejarah Republik ini. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini. Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak ikut memperlemah posisi ekonomi Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Pasal 33 UUD 1945 tidak ikut salah apa-apa dalam menghadirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang menjebol Bank Indonesia dan melakukan perampokan BLBI. Bukan pula Pasal 33 yang membuat perekonomian diampu dan di bawah kuratil negara tetangga (L/C Indonesia dijamin Singapore).

Bukan Pasal 33 yang menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian membentuk kesenjangan sosial yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional), meminggirkan rakyat dan ekonominya.

Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang eksploitatif terhadap rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan rakyat (impoverishment).

Lalu, mengapa kita memaki-maki Pasal 33 UUD 1945 dan justru mengagung-agungkan globalisasi dan pasar-bebas yang penuh jebakan bagi kita?

Pasal 33 tidak menghambat, apalagi melarang kita maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru ekonomi mondial. Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak harus digusur, tetapi ditambah ayat-ayat baru, bukan saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi nasional tetapi juga karena tepat dan benar. Kami mengusulkan berikut ini sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan suatu upaya memberi “addendum”, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi otonomi daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.
Yok Mahasiswa...jangan egois...Negerimu, membutuhkanmu! Hidup Mahasiswa!

Aditya Wardhani

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar