Nama saya
Aditya Wardhani. Saya besar dan lahir di keluarga penuh disiplin dan
demokratis. Keluarga Hariadi. Terlahir sebagai anak tunggal dari Ayah Wachid
Hariadi, seorang TNI-AU, tegas, tanggung jawab, penyayang, penuh perhatian, idealis,
demokratis dan over protektif. Sarjana dan Magister Ekonomi Cumloude ini senang
berbagi dengan anak satu-satunya. Kebahagiaan tersendiri katanya. Sebagai
seorang militer, otomatis disiplin merupakan background utama keluarga kami.
“Jangan sampai orang lain menanti!”, itulah hal yang ditanamkan ayah saya sejak
kecil. Dari kecil sudah diperkenalkan dengan rekan-rekan dikantornya. Dilatih
untuk berkomunikasi. Mulai dari yang bawah hingga komandannya sekalipun. Mandi
harus 10 menit, dan kalau lebih pasti udah di gedor pintunya. Janjian misalkan
jam 7 pagi, ya jam 06.45 paling lambat harus udah siap. Kalau enggak ya pasti
ditinggal. Selain itu, aku juga diajarin teliti dalam hal travelling. Kalau ada
barang yang tertinggal, ya sudah. Katanya “Salah siapa gag teliti!”. Mati kutu
deh. Maklum lha, kalau ayah keluar kota aku sering ikut. Dulu sering banget
bolos sekolah. Jogja dan Bali adalah kota yang sering kami sekeluarga kunjungi.
Makassar, Jakarta, Medan, Batam, bahkan Papua. Ya terbang...pakai pesawat
militer itu. Hehehehe.... pernah waktu dulu masih SD, aku bolos gara-gara gag
makan pagi. Hehehehe... ya sudah...lumayan main di rumah...
Ayah
lahir dari keluarga yang kurang mampu di Blitar. Kakek dulu pernah kerja
sebagai abdi Bung Karno. Dan Nenek kerja jadi guru SD. Anak pertama dari 4
bersaudara merupakan beban bagi ayah. Dimana harus jadi contoh buat
adik-adiknya. Dan ayah banyak gag cerita tentang masa lalunya. Beliau hanya
bercerita jauhnya rumah dan sekolah SMP dan SMA waktu itu, tapi tetep rangking
satu.
Lain
halnya dengan ibu. Wiwik Larasati. Lahir dari keluarga kaya. Lulusan SMA
terbaik dan unggulan di Malang Raya. Tapi sih pinternya gag ngalahin ayah. Ayah
itu menang cerdas. Kalau ibu menang tekun. Seorang guru Matematika SMP yang
terkenal tegas dan disiplin. Disiplinnya sebelas dua belas dengan ayah.
Penyanyang, perhatian, tanggung jawab, jiwa pendidik, idealis, demokratis dan
sama-sama over protektif. Hampir sama kayak ibu. Ya jelas, ketemunya juga
sama-sama mantan SENAT. Aktivis dulunya. Disiplin dalam hal makan. Terjadwal
rapi. Kalau enggak mau makan, dipaksa dan disuapin. Lulusan Sarjana Matematika,
membuat aku terbebani untuk pinter matematika. Ya padahal juga ibu juga gag
mendoktrin untuk itu. Hampir semua yang dilakukan sama kayak ayah. Jadi gag
banyak aku jelaskan di ibu. Memang jodoh mereka.
Dalam
hal mendidik anak, mereka sehati. Mulai dari mempersiapkan gizi dari kecil
hingga sekarang sampai pada urusan bercanda. Mencoba lebih dekat dengan anaknya
meski sesibuk apapun mereka. Meski tak jarang aku merasa sepi. Sendiri.
Dikelilingi oleh fasilitas yang tersedia buat menemani. Mulai dari mainan yang
se almari, ada mobil-mobilan. Dari yang remote, tamiya, sampai yang digerakin
manual pakai tangan. Jarang boneka. Boneka itupun kalau dikado. Kalau murni
ayah yang beli sepulang kerja, ya itu mobil-mobilan. Agak besar dikit dibelikan
bola basket. Disuruh main basket. Selain itu di rumah juga ada keyboard sama
gitar. Sehingga aku juga aktif di kegiatan band dan punya band sendiri di
Malang. Lumayan lha sering manggung kalau ada acara sekolah. Terlahir dari
darah demokratis, setiap habis sholat maghrib selalu ada acara sharing. Disitu
sharing apapun itu. Jadi aku bisa tahu masalah ayah, ibu, begitu juga
sebaliknya. Hingga kami mempunyai panggilan akrab tersendiri. Dan jujur, dalam
keseharian aku lebih sering menggunakan panggilan akrab itu. Jadi gag ada
panggil ayah, ibu. Kedekatan selalu dijalin semaksimal mungkin oleh orang
tuaku. Mulai dari hang out. Sampai sering keluar kota travelling keluarga.
Menonton tv pun gag boleh sembarangan. Tv on hanya waktu berita aja. Gag lebih.
Disitu sambil liat berita, ayah ma ibu gag tinggal diam. Aku diajak berdiskusi
dengan berita yang lagi dibahas. Ya...melatih kritis sih. Hingga waktu itu aku
inget banget, aku mengkritisi pemerintah setempat mengenai kesehatan. Dan ayah
dengan pedenya “tulis aja, cantumkan namamu yang jelas. Kalau kamu kena kasus
masalah itu, ayah siap nanggung”. Seneng banget akunya. Waktu itu masih SMP
sih. Dan itu, masuk koran beneran. Hehehehe... tapi untungnya gag kena kasus.
Terlahir
dari keluarga organisasi, membuat aku sedikit dipaksa ikut organisasi awalnya.
Pikirku gag penting sih dulu. Buat apa. Mending belajar yang rajin. Tapi malah
dimarahin sama dua-duanya. Entah maksudnya apa. Ikut Paski di sekolah, ngapain
coba buang-buang waktu. Dan aku baru sadar setelah aku kuliah. Dan asal
diketahui, dulu aku ikut BEM kalau ayah ma ibu gag nyuruh, aku gag bakalan
daftar. Dan juga kalau ayah ma ibu gag ngerestuin aku jadi menteri, aku juga
gag bakaln jadi menteri. Males, capek. Tapi baru ngerasain setelah demisioner
ini sih. Hehehehe...
Besar
di keluarga yang selalu melatih aku berkomunikasi, sehingga pernah aku mendapatkan
juara Mengarang tingkat Jawa Timur. Dan gara-gara itu juga, aku jadi suka
menulis essay. Pernah dulu dicantumkan di Jawa Pos. Sampai aku di Undang dateng
di Graha Pena Surabaya. Ketemu Bapak Dahlan Iskan. Salut dengan orang tuaku,
dari aku lomba hingga apapun itu kegiatanku, beliau rela cuti dan mengantar
sendiri. Bagi mereka “mumpung bisa nganterin, kenapa enggak?!?”.
Hingga
pada akhirnya orang tua harus melepaskan aku kuliah di Bandung. Ada beberapa
pertimbangan kenapa harus Bandung. Biar Jauh dan mencari pengalaman hidup. Itu
dulu tujuanku. Karena selama hidup dengan orang tua, aku hampir tak pernah
menghadapi masalah hidup. Semua ada. Semuanya diiyakan. Hingga aku merasakan,
apa yang aku dapatkan tanpa adanya kerja keras sedikitpun. Susah banget
ijinnya. Tapi aku berhasil meyakinkan beliau, kalau aku bisa. Aku pingin
mandiri. Aku pingin belajar mengatur waktu sendiri, mengatur uang sendiri, dan
lain-lain. Dan akhirnya mereka setuju. Tapi ya gitu, sebulan sekali gantian
yang cuti jenguk ke Bandung. Awalnya. Tapi sekarang, jadi dua bulan sekali. Ya
terserah mereka. Kalau dilarang takut tersinggung.
Terlahir
sebagai anak tunggal merupakan anugerah bagiku. Aku bisa merasakan hal-hal yang
indah dengan orang tua diluar temen-temenku. Orang tuaku jelas-jelas
menunjukkan sayangnya. Gag jaim. Yang bikin kangen itu, dicium dahi, pipi
kanan, pipi kiri dan hidung sama ayah dan ibu sebelum pergi sekolah dan main.
Yang sekarang selama kuliah, jarang aku rasakan kecuali waktu mereka berkunjung
atau waktu aku berlibur di Malang.
Ya
Allah, lindungi orang tuaku. Sayangi mereka seperti mereka menyayangiku waktu
kecil. Aamiin. Love you as always, Wachid Hariadi and Wiwik Larasati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar